6/02/2011

Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia

a. Kerajaan Samudera Pasai
Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Kerajaan Islam yang pertama muncul di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di pantai timur Sumatera, sekitar Sungai Jambu Air dengan Sungai Pasai daerah Lhokseumawe, di Aceh Utara sekarang. Ibu kota kerajaan semula terletak di Samudera, lalu pindah ke Pasai.

Pada awalnya, Kerajaan Samudera Pasai terdiri atas dua daerah, yaitu Samudera dan Pasai. Kedua daerah itu telah lama dijadikan tempat persinggahan dan tempat bermukim saudagar dari Arab, Persia, dan India. Sesudah kekuasaan Islam tegak, kedua daerah ini disatukan menjadi Kerajaan Samudera pasai. Bukti adanya Kerajaan Samudera Pasai diperkuat oleh keterangan Marco Polo, pedagang yang berasal dari Venesia, yang singgah di Perlak tahun 1292.

Menurut buku Hikayat Raja-Raja Pasai, pada waktu itu Perlak juga merupakan sebuah kerajaan. Namun setelah Sultan Malik Al Saleh menikah dengan Puteri Ganggang dari Perlak, akhirnya Perlak bergabung ke dalam Samudera Pasai.

Selain Sultan Malik Al Saleh, Raja yang terkenal lainnya ialah Sultan Malik Al Tahir. Pada masa pemerintahannya, datanglah seorang pengembara dari Maroko bernama Ibnu Batutah. Dari catatan Ibnu Batutah inilah kita dapat mengetahui adanya masyarakat Samudera Pasai.

Mata pencaharian utama masyarakat Kerajaan Samudera Pasai ialah dari pelayaran dan perdagangan. Pelayaran dan perdagangan menjadi ramai karena Kerajaan Samudera Pasai terletak di jalur perdagangan antara India dan China, yaitu Selat Malaka. Selain menjadi pusat perdagangan, Samudera Pasai juga menjadi pusat penyebaran agama Islam.

Pada tahun 1361 Kerajaan Samudera Pasai mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Zainal Abidin. Serangan itu dilancarkan karena Majapahit khawatir akan kemajuan Samudera Pasai di bidang pelayaran dan perdagangan. Penyerangan oleh Majapahit tersebut tidak menghambat gerakan penyebaran agama Islam.

Samudera Pasai kembali merosot pada awal abad ke-15. Kerajaan ini kalah pamor dengan Kesultanan Malaka. Meskipun makin merosot, nama Samudera Pasai abadi dalam bentuk lain. Ibnu Batutah mengeja nama itu sebagai Sumatrah. Itulah cikal bakal nama Pulau Sumatera yang kita kenal sekarang ini.

b. Kerajaan Aceh
Pada tahun 1511, bangsa Portugis menguasai Malaka. Dari Malaka Portugis kemudian menguasai Samudera Pasai. Sejak saat itu, para pedagang Islam mencari pelabuhan lain untuk menghindari Portugis. Pelabuhan baru itu adalah Aceh. Dari sinilah muncul sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Aceh.

Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-16. Kerajaan ini terletak di tepi Selat Malaka. Pusat Kerajaan Aceh terdapat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Raja Aceh yang pertama ialah Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau memerintah antara tahun 1514-1528.

Pada tahun 1520, Ali Mughayat Syah mulai mengadakan wilayah perluasaan kekuasaan. Lama-kelamaan Kerajaan Aceh berkembang menjadi sebuah kerajaan Islam yang kuat. Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah penghasil lada dan emas yakni Pasai, Deli, dan Arun.

Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada tahun 1530, beliau digantikan oleh putera sulungnya bernama Salahuddin. Akan tetapi Sultan ini tidak mampu menjalankan roda pemerintahan. Pada tahun 1537, ia digantikan oleh adiknya Alauddin Riayat Syah, yang bergelar “Al Qahhar” (Yang Perkasa). Sultan Alauddin Riayat Syah menyebarkan agama Islam sampai ke Siak (Riau) dan Minangkabau (Sumatera Barat).

Dalam hubungan dengan luar negeri, Sultan Alauddin Riayat Syah menjalin hubungan dengan Turki di Istanbul. Sekitar 40 orang perwira Turki melatih tentara dan mengajarkan pembuatan meriam di Aceh. Armada Aceh menjadi semakin tangguh. Dengan kekuatan armadanya, Sultan Alauddin, tiga kali menggempur Portugis di Malaka, yaitu tahun 1547, 1560, dan 1568. Sayangnya usaha Sultan Alauddin gagal. Setelah Sultan Alauddin wafat, kekuatan Aceh mulai melemah.

Aceh kembali disegani pada saat Sultan Iskandar Muda naik tahta. Wilayah kekuasaan Aceh semakin luas. Kekuasaan Aceh meliputi sebagian besar Sumatera, kecuali Palembang dan Lampung yang dikuasai Banten. Armada Aceh menjadi kekuatan laut yang besar di Nusantara begian Barat. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Aceh mencapai puncak kejayaannya.

Sultan Iskandar Muda juga meluaskan wilayahnya ke Semenanjung Malaysia dengan menakhlukkan Johor (1615), Pahang (1617), dan Kedah (1620). Pada tahun 1629 Sultan Iskandar Muda mengirim ratusan kapal perang untuk merebut Malaka dari tangan Portugis. Usaha tersebut mengalami kegagalan karena Portugis memperalat Sultan Johor untuk menyerang Aceh.

Aceh berhasil menempatkan diri sebagai pusat perdagangan dan pengembangan agama Islam. Pada saat itu, Aceh memiliki para pujangga ternama, seperti Hamzah Fansuri dan ulama Syekh Abdrrauf Singkil. Ulama inilah yang mula-mula berhasil menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Melayu. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636, Aceh kembali mengalami kemerosotan.

c. Kerajaan Demak
Pada abad ke-16 muncul Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak. Semula Demak merupakan salah satu wilayah bawahan Majapahit.

Pada abad ke-15, daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Demak, sudah memeluk agama Islam. Akan tetapi, raja-rajanya tetap setia kepada Majapahit. Perbedaan agama tidak menjadi persoalan. Sebab, di kalangan pembesar istana Majapahit pun, agama Islam mulai dianut. Hal ini dibuktikan oleh adanya pemakaman Muslim di Trayala dan Trowulan.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh akibat perang saudara pada tahun1478, pusat kerajaan Hindu berpindah ke Keling dan akhirnya ke Daha (Kediri). Runtuhnya Majapahit menyebabkan bangkitnya Demak menjadi kerajaan Islam pertama di Pulau jawa. Candrasengkala (kronogram: tanda atau kata-kata yang menunjukkan tahun atau zaman) pada Masjid Demak menyatakan tahun 1403 Saka (1481 Masehi) sebagai tarikh berdirinya Kerajaan Demak.

Raden Patah
Sultan Demak yang pertama adalah Raden Patah. Nama ini berasal dari bahasa Arab, Fattah (artinya “pembuka”). Ia disebut demikian karena ia menjadi penguasa pertama yang beragama Islam. Raden Patah memerintah dari tahun 1481 sampai 1518.

Adipati Unus
Putera tertua Raden Patah adalah Pangeran Unus. Ia menjabat sebagai adipati di Jepara sehingga ia dikenal sebagai Adipati Unus. Pangeran ini sangat terkenal di kalangan orang Portugis. Sebab, pada tahun 1513 Adipati Unus memimpin armada laut Demak yang berjumlah ribuan tentara untuk merebut Malaka dari tangan Portugis. Penyerangan ini mengalami kegagalan karena persenjataan Portugis lebih kuat. Oleh karena usahanya yang gigih itu ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. Adipati Unus memerintah Kerajaan Demak pada tahun 1518-1521.

Setelah Adipati Unus wafat, dua orang adiknya, yakni Pangeran Sekar Sedo Lepen dan Pangeran Trenggono memperebutkan tahta kerajaan. Pangeran Sekar Sedo Lepen dibunuh oleh putera tertua Trenggono yang bernama Pangeran Mukmin (Sunan Prawoto). Akhirnya, Trenggono menjadi raja atau sultan.

Sultan Trenggono
Baru saja Sultan Trenggono naik tahta, datanglah pemuda dari Pasai. Fatahillah (Syarif Hidayatullah) namanya. Ia telah bertahun-tahun mengembara di luar negeri menuntut ilmu agama dan ilmu perang. Ia pun sudah menunaikan ibadah haji. Sultan Trenggono amat terkesan kepada pemuda yang alim dan gagah itu. Kemudian, Fatahillah dinikahkan dengan adiknya. Selain itu, Fatahillah diangkat pula sebagai panglima tentara Demak. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Hasanuddin yang kemudian menjadi Raja di Cirebon.

Sultan Trenggono memperkukuh kekuasaan melalui perpisahan keluarga. Salah seorang puterinya dinikahkan dengan Pangeran Hadiri, Adipati Kali Nyamat (Jepara). Puteri Trenggono yang bungsu dinikahkan dengan salah seorang panglima Demak, Jaka Tingkir (Pangeran Adiwijaya).

Pada zaman Sultan Trenggono, Demak meluaskan kekuasaannya dan menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan Daha (Kediri), Madiun, dan Singosari (Malang) berhasil ditakhlukkan oleh Demak. Akan tetapi, ketika Sultan Trenggono menakhlukkan Pasuruan, ia gugur dalam pertempuran.

Runtuhnya Kerajaan Demak
Setelah Sultan Trenggono wafat, maka terjadilah perebutan kekuasaan dalam keluarga Kerajaan Demak. Putera Pangeran Sekar Sedo Lepen, Arya Penangsang, merasa berhak untuk menjadi raja. Ia membunuh Sunan Prawoto, agar saingannya lenyap dan sekaligus membalas dendam kematian ayahnya. Putera Sunan Prawoto yang bernama Arya Pangiri dilindungi oleh Pangeran Hadiri di Jepara. Namun, pangeran juga terbunuh oleh orang suruhan Arya Penangsang. Ratu Kali Nyamat dan Arya Pangiri memohon bantuan kepada Adiwijaya di Pajang. Adiwijaya berhasil membunuh Arya Penangsang.

Adiwijaya rupanya berambisi menjadi raja. Ia menjalankan siasat yang cerdik pula. Arya Pangiri dinikahkan dengan puterinya dan diangkat menjadi Adipati Demak. Arya Pangiri tidak bisa berbuat apa-apa, sebab, mertua wanitanya (istri Adiwijaya) merupakan adik kandung ayahnya. Maka, ketika Adiwijaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Pajang, Arya Pangiri tidak bisa menghalanginya lagi. Dengan demikian, hapuslah kerajaan Demak, berganti dengan Kerajaan Pajang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1568.

Wali Songo
Pada masa Kerajaan Demak, penyebaran agama Islam di Pulau jawa berkembang dengan pesat. Tokoh-tokoh yang tidak boleh dilupakan dalam penyiaran agama Islam adalah para wali. Karena jumlah wali itu ada sembilan orang, maka biasa disebut Wali Songo. Kesembilan wali itu adalah:
1. Sunan Ampel (Raden Rachmat)
2. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
3. Sunan Giri (Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin)
4. Sunan Drajad (Raden Syariffudin)
5. Sunan Bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
6. Sunan Muria (Raden Umar Said)
7. Sunan Kudus (Raden Jafar Shadiq)
8. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
9. Sunan Gunung Jati (Fatahillah atau Syarif Hidayatullah)

d. Kerajaan Banten
Pada awal abad ke-16, daerah Jawa Barat dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Pusatnya di Pakuan (dekat Bogor sekarang). Kerajaan Pajajaran memiliki bendar-bendar penting seperti Banten, Sunda Kelapa, (Jakarta), dan Cirebon.

Kerajaan Pajajaran telah mengadakan kerja sama dengan Portugis. Oleh karena itu, Portugis diizinkan mendirikan kantor dagang dan benteng pertahanan di Sunda Kelapa. Untuk membendung pengaruh Portugis di Pajajaran, Sultan Trenggono dari Demak memerintahkan Panglima Fatahillah untuk menakhlukkan Bandar-bandar Pajajaran. Pada tahun 1526 armada Demak berhasil menguasai Banten.

Pasukan Fatahillah juga berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa, pada tanggal 22 Juni 1527. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta atau Jakarta, yang berarti “Kota Kemenangan”. Sampai sekarang Hari Ulang Tahun Kota Jakarta diperingati setiap tanggal 22 Juni.

Dalam waktu yang singkat seluruh pantai utara Jawa Barat dapat dikuasai Fatahillah. Agama Islam lambat laun tersebar di Jawa Barat. Fatahillah kemudian menjadi wali (ulama besar) dengan gelar Sunan Gunung Jati, yang berkedudukan di Cirebon.

Pada tahun 1552, putera Fatahillah bernama Hasanuddin diangkat menjadi penguasa di Banten. Sedangkan puteranya yang lain berama Pasarean, diangkat menjadi penguasa di Cirebon. Fatahillah sendiri mendirikan pusat kegiatan keagamaan di Gunung Jati, Cirebon sampai beliau wafat pada tahun 1570.

Jadi pada awalnya, Kerajaan Banten merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Demak, Jawa Tengah.

Sultan Hasanuddin
Ketika terjadi perebutan kekuasaan di pusat Kerajaaan Demak, daerah Banten dan Cirebon berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak. Akhirnya Banten dan Cirebon menjadi kerajaan yang berdaulat atau berkuasa penuh lepas dari pengaruh Demak. Sultan Hasanuddin menjadi Raja Banten yang pertama. Sultan Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun, yaitu dari tahun 1552-1570. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, Banten berhasil menguasai Lampung (di Sumatera) yang banyak menghasilkan rempah-rempah, sekaligus menguasai Selat Sunda sebagai jalur lalu-lintas perdagangan.

Selama pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil membangun pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa. Para pedagang dari Persia, Gujarat, Venesia berusaha menghindari Selat Malaka yang dikuasai Portugis dan beralih ke Selat Sunda. Banten kemudian berkembang menjadi Bandar perdagangan maupun sebagai pusat penyebaran agama Islam.

Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570, ia digantikan oleh puteranya bernama Maulana Yusuf. Sultan Banten ini sangat memperhatikan bidang pertanian.

Maulana Yusuf
Pada tahun 1579, Maulana Yusuf menakhlukkan Kerajaan Pajajaran di Pakuan (Bogor) dan sekaligus menyingkirkan rajanya bernama Prabu Sedah. Akibatnya, banyak orang Pajajaran menyingkir ke pegunungan. Mereka ini dikenal sebagai orang-orang Baduy sekarang.

Maulana Muhammad
Setelah Sultan Maulana Yusuf wafat, puteranya bernama Maulana Muhammad, naik tahta dalam usia 9 tahun. Karena raja masih sangat muda, pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Jayanegara sampai sultan dewasa. Enam belas tahun kemudian, Sultan Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gendeng Sure, seorang bangsawan Demak. Kerajaan Banten yang juga keturunan Demak merasa berhak atas daerah Palembang. Namun Banten mengalami kekalahan, Sultan Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran itu.

Pangeran Ratu
Pangeran Ratu yang baru berusia lima bulan, menjadi Sultan banten yang keempat (1596-1651). Sampai Pangeran Ratu dewasa, pemerintaha dijalankan oleh Mangkubumi Ranamanggala. Pada saat itulah untuk pertama kalinya bangsa Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Banten, tanggal 22 Juni 1596.

e. Kerajaan Ternate dan Tidore
Sejak abad ke-13, Maluku sudah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam dari Jawa dan Melayu. Seiring dengan ramainya perdagangan, berdatangan pula para mubaligh dari Jawa Timur untuk mengajarkan agama Islam. Salah seorang mubaligh yang berjasa menyiarkan agama Islam di Maluku ialah Sunan Giri dan Gresik, Jawa Timur.

Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapat pengaruh Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Jawa dan Melayu. Pusat pemerintahan Ternate terdapat di Sampalu. Raja Ternate yan pertama ialah Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Raja Ternate yang terkenal ialah Sulan Hairun. Hasil utama Ternate waktu itu adalah cengkeh dan pala.

Selain Kerajaan Ternate, juga terdapat Kerajaan Tidore. Sultan Tidore yang pertama ialah Sultan Mansur. Raja Tidore yang terkenal ialah Pangeran Nuku.

Antara Kesultanan Ternate dan Tidore terjadi persaingan dalam hal memperluas kekuasaan dan perdagangan, sehingga sering terjadi peperangan. Untuk itu, masing-masing kerajaan membentuk persekutuan dengan daerah yang mereka pengaruhi. Persekutuan itu biasa disebut Uli Siwa dan Uli Lima.

Uli Siwa (persekutuan sembilan) dipimpin oleh Kesultanan Tidore. Wilayahnya meliputi Jailolo (Halmahera), Makian, dan pulau-pulau besar sampai ke Irian (papua). Uli Lima (persekutuan lima) dipimpin oleh Kesultanan Ternate, yang meliputi wilayah Bacan, Obi, Seram, dan Ambon.

Pada abad ke-16, bangsa Eropa mulai berdatangan ke Maluku. Perselisihan antara Ternate dan Tidore dimanfaatkan oleh Portugis dan Spanyol. Sultan Ternate meminta bantuan Portugis, sedangkan Sultan Tidore meminta bantuan Spanyol.

Untunglah, rakyat Maluku sadar bahwa mereka diperalat oleh bangsa asing. Mereka kembali bersatu padu untuk melawan bangsa asing. Pada tahun 1575, Ternate di bawah pimpinan Sultan Baabullah berhasil menghancurkan benteng Portugis di Maluku. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583), Ternate mengalami kemajuan pesat dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol dari Maluku.

f. Kerajaan Goa dan Tallo
Dua suku yang terkenal yang mendiami Sulawesi Selatan ialah Suku Makassar dan Bugis. Daerah Makassar berpusat di Goa dan Tallo, sedangkan daerah Bugis berpusat di Bone, Soppeng, Wajo, dan Luwu.

Letak Makassar sangat strategis karena merupakan penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Karena letaknya yang strategis tersebut, Makassar tumbuh menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal itu juga yang mendorong Suku Makassar dan Bugis menjadi pelaut ulung.

Pada abad ke-16 raja-raja Makassar dan Bugis belum menerima agama Islam. Padahal ketika itu mereka sudah mempunyai hubungan baik dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Goa dan Tallo merupakan kerajaan kembar yang bersatu. Pusatnya di Sombaopu (Malaka). Raja Tallo pada waktu itu ialah Karaeng Matoaya. Ia merupakan raja pertama di Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam, dan bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Sedangkan Raja Goa ialah Daeng Manrabia.

Dalam bidang perdagangan, Kerajaan Goa – Tallo menjalin hubungan baik dengan raja-raja lain, seperti Banten, Mataram, Maluku, dan Malaka. Hubungan dengan luar negeri juga berjalan dengan baik, terutama dengan Arab, Spanyol,dan Portugis.

Kerajaan Goa-Tallo mencapai puncak kejayaan pada waktu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin (1653 – 1669). Ketika itu Belanda berusaha keras untuk dapat menguasai Goa - Tallo, namun mendapat perlawanan sengit dari Sultan Hasanuddin.

Ketika Belanda menghalangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku, dengan tegas Sultan Hasanuddin berkata, “Laut adalah milik Allah dan semua manusia bebas menggunakannya. ” oleh karena ketegasannya itulah, Belanda menjuluki Sultan Hasanuddin dengan “Ayam jantan dari Timur”.

Akhirnya karena penghianatan Raja Aru Palaka dari Bone, Belanda berhasil mengalahkan Kerajaan Goa - Tallo. Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian Bongaya tahun 1667. Isi perjanjian Bongaya sangat merugikan rakyat Goa - Tallo (Makassar).