Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel (sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
a. Isi Aturan Tanam Paksa
1) Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2) Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4) Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan.
5) Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
6) Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan merupakan kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan ditanggung oleh pemerintah Belanda.
7) Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa.
Bentuk-bentuk penyimpangan atas Aturan Tanam Paksa:
1. Pemberlakuan cultuur procenten, yaitu bonus untuk para pegawai pemerintah Belanda yang mampu menyerahkan pajak lebih banyak.
2. Para pegawai pemerintah Belanda dapat mengambil lebih dari 1/5 bagian tanah rakyat dan dapat memilih jenis tanah yang subur untuk tanaman ekspor.
3. Kewajiban rakyat yang tidak memiliki tanah untuk bekerja di pabrik atau perkebunan Belanda yang melewati ketentuan.
4. Pembebanan pajak tanah kepada para petani.
5. Waktu pengerjaan tanah cultuurstelsel ternyata lebih dari 3 bulan.
6. Tidak ada pengembalian kelebihan hasil produksi pertanian.
7. Pembebanan pajak kepada para petani atas kerusakan atau kerugian akibat gagal panen.
b. Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu dengan ditandai dengan hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian, keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan aturan tanam paksa ini.
Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Pada tahun 1860, system tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya, pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat di daerah Priangan juga dihapuskan.
c. Dampak Aturan Tanam Paksa
Dampak yang timbul dari pelaksanaan aturan tanam paksa dapat dibedakan menjadi dua, yakni keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda dan dampak aturan tanam paksa bagi bangsa Indonesia.
Dampak Aturan Tanam Paksa
1) Bagi Pemerintah Belanda
Pemerintah Belanda dapat mengatasi kesulitan keuangan.
Pemerintah Belanda dapat melunasi hutangnya.
Keuangan Belanda mengalami surplus (kelebihan).
Perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
2) Bagi Rakyat Indonesia
Sisi Positif:
Petani mengenal jenis tanaman baru dari luar negeri.
Petani mengetahui daerah-daerah yang sesuai untuk jenis tanaman tertentu.
Petani mengetahui cara mengolah tanah dan memelihara tanaman ekspor.
Pasar internasional mengetahui hasil tanaman perdagangan Indonesia.
Sisi Negatif:
Lahan pertanian rakyat menjadi terbengkalai karena tidak terurus.
Gagal panen pertanian rakyat sehingga petani mengalami kerugian besar.
Timbul kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan kematian.
Mental bangsa turun karena merasa tertekan.
d. Reaksi terhadap pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Di Belanda, antara tahun 1850-1860, terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dengan kelompok yang menentang pelaksanaan tanam paksa. Kelompok yang menyetujui pelaksanaan tanam paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan Nederlandsche Hendel Maatschappij (NHM) yang mendapat hak monopoli perdagangan. Adapun pihak yang menentang pelaksanaan tanam paksa terdiri atas kelompok dari kalangan agama dan kerohanian, serta golongan menengah yang meliputi pengusaha dan pedagang swasta yang iba atas penderitaan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, golongan menengah menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai pelindung, penyedia sarana dan prasarana, serta sebagai pengatur pelaksanaan hukum, keamanan, dan ketertiban.
Pada tahun 1870, perekonomian Hindia Belanda (Indonesia) mulai memasuki zaman liberal hingga tahun 1900. Kaum liberal atau kaum kapitalis berpendapat bahwa perkembangan ekonomi yang pesat (hasil kerja dari pihak-pihak swasta) akan meningkatkan kesejahteraan, sedangkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian rakyat yang terus-menerus justru akan berdampak buruk untuk perekonomian dan kemakmuran rakyat.
a. Isi Aturan Tanam Paksa
1) Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2) Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4) Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan.
5) Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
6) Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan merupakan kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan ditanggung oleh pemerintah Belanda.
7) Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa.
Bentuk-bentuk penyimpangan atas Aturan Tanam Paksa:
1. Pemberlakuan cultuur procenten, yaitu bonus untuk para pegawai pemerintah Belanda yang mampu menyerahkan pajak lebih banyak.
2. Para pegawai pemerintah Belanda dapat mengambil lebih dari 1/5 bagian tanah rakyat dan dapat memilih jenis tanah yang subur untuk tanaman ekspor.
3. Kewajiban rakyat yang tidak memiliki tanah untuk bekerja di pabrik atau perkebunan Belanda yang melewati ketentuan.
4. Pembebanan pajak tanah kepada para petani.
5. Waktu pengerjaan tanah cultuurstelsel ternyata lebih dari 3 bulan.
6. Tidak ada pengembalian kelebihan hasil produksi pertanian.
7. Pembebanan pajak kepada para petani atas kerusakan atau kerugian akibat gagal panen.
b. Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu dengan ditandai dengan hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian, keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan aturan tanam paksa ini.
Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Pada tahun 1860, system tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya, pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat di daerah Priangan juga dihapuskan.
c. Dampak Aturan Tanam Paksa
Dampak yang timbul dari pelaksanaan aturan tanam paksa dapat dibedakan menjadi dua, yakni keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda dan dampak aturan tanam paksa bagi bangsa Indonesia.
Dampak Aturan Tanam Paksa
1) Bagi Pemerintah Belanda
Pemerintah Belanda dapat mengatasi kesulitan keuangan.
Pemerintah Belanda dapat melunasi hutangnya.
Keuangan Belanda mengalami surplus (kelebihan).
Perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
2) Bagi Rakyat Indonesia
Sisi Positif:
Petani mengenal jenis tanaman baru dari luar negeri.
Petani mengetahui daerah-daerah yang sesuai untuk jenis tanaman tertentu.
Petani mengetahui cara mengolah tanah dan memelihara tanaman ekspor.
Pasar internasional mengetahui hasil tanaman perdagangan Indonesia.
Sisi Negatif:
Lahan pertanian rakyat menjadi terbengkalai karena tidak terurus.
Gagal panen pertanian rakyat sehingga petani mengalami kerugian besar.
Timbul kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan kematian.
Mental bangsa turun karena merasa tertekan.
d. Reaksi terhadap pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Di Belanda, antara tahun 1850-1860, terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dengan kelompok yang menentang pelaksanaan tanam paksa. Kelompok yang menyetujui pelaksanaan tanam paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan Nederlandsche Hendel Maatschappij (NHM) yang mendapat hak monopoli perdagangan. Adapun pihak yang menentang pelaksanaan tanam paksa terdiri atas kelompok dari kalangan agama dan kerohanian, serta golongan menengah yang meliputi pengusaha dan pedagang swasta yang iba atas penderitaan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, golongan menengah menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai pelindung, penyedia sarana dan prasarana, serta sebagai pengatur pelaksanaan hukum, keamanan, dan ketertiban.
Pada tahun 1870, perekonomian Hindia Belanda (Indonesia) mulai memasuki zaman liberal hingga tahun 1900. Kaum liberal atau kaum kapitalis berpendapat bahwa perkembangan ekonomi yang pesat (hasil kerja dari pihak-pihak swasta) akan meningkatkan kesejahteraan, sedangkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian rakyat yang terus-menerus justru akan berdampak buruk untuk perekonomian dan kemakmuran rakyat.